Budaya Cancel Culture: Demokrasi Digital atau Anarki Sosial?
{"aigc_info":{"aigc_label_type":0,"source_info":"dreamina"},"data":{"os":"web","product":"dreamina","exportType":"generation","pictureId":"0"},"trace_info":{"originItemId":"7544270382073793845"}}

Budaya Cancel Culture: Demokrasi Digital atau Anarki Sosial?

0 0
Read Time:48 Second

Fenomena cancel culture semakin marak di era media sosial. Selebriti, politisi, hingga perusahaan bisa “dibatalkan” hanya dengan satu kampanye online. Pertanyaannya: apakah cancel culture adalah bentuk demokrasi digital, atau justru anarki sosial yang merusak kebebasan berekspresi?


Mengapa Cancel Culture Muncul?

  1. Kekuatan Media Sosial – Opini publik bisa menyebar cepat dan viral.
  2. Kesadaran Sosial – Netizen ingin menegakkan moralitas dan keadilan.
  3. Kekecewaan Publik – Kesalahan figur publik langsung disorot jutaan mata.
  4. Kurangnya Regulasi – Dunia digital belum punya aturan tegas.


Dampak Positif Cancel Culture

  • Akuntabilitas Publik – Figur terkenal lebih hati-hati dalam bertindak.
  • Kesadaran Sosial – Isu diskriminasi dan ketidakadilan lebih cepat terangkat.
  • Kekuatan Masyarakat – Rakyat bisa “mengontrol” elite lewat dunia maya.


Dampak Negatif Cancel Culture

  • Penghakiman Massal – Netizen bisa salah menilai tanpa bukti kuat.
  • Kebebasan Berekspresi Terbatas – Orang takut berbicara berbeda.
  • Ketidakadilan Sosial – Seringkali yang dihukum hanya pihak tertentu.


Penutup:
Cancel culture adalah fenomena digital yang harus diwaspadai. Ia bisa jadi alat kontrol sosial, tetapi juga bisa berubah menjadi anarki jika tidak diatur dengan bijak.

Happy
Happy
0 %
Sad
Sad
0 %
Excited
Excited
0 %
Sleepy
Sleepy
0 %
Angry
Angry
0 %
Surprise
Surprise
0 %

Average Rating

5 Star
0%
4 Star
0%
3 Star
0%
2 Star
0%
1 Star
0%