Berlin – Pertumbuhan konsumsi teknologi yang eksponensial telah menciptakan krisis lingkungan global yang diperparah oleh Limbah Elektronik (E-Waste). Di tengah situasi ini, konsep Ekonomi Circular—yang bertujuan untuk menghilangkan limbah dan polusi, menjaga produk dan material tetap digunakan, dan meregenerasi sistem alam—telah menjadi kerangka kebijakan dan desain yang kritis untuk sektor teknologi.
E-Waste mengandung material berharga (emas, perak, paladium) tetapi juga zat beracun (merkuri, timbal). Tingkat daur ulang global untuk E-Waste saat ini sangat rendah. Ekonomi Circular berusaha mengatasi hal ini melalui desain ulang produk dan model bisnis. Ini melibatkan perancangan produk agar lebih tahan lama, lebih mudah diperbaiki, dan lebih mudah didaur ulang (design for disassembly).
Pendorong utama perubahan ini adalah hak untuk memperbaiki (Right to Repair). Gerakan ini menekan produsen untuk menyediakan suku cadang, tool, dan manual yang diperlukan kepada konsumen dan bengkel independen untuk memperbaiki perangkat mereka. Regulasi Right to Repair yang diwajibkan di beberapa yurisdiksi memperpanjang umur produk dan mengurangi aliran E-Waste ke TPA.
Model bisnis juga bergeser dari penjualan produk menjadi penyediaan layanan. Misalnya, laptop-as-a-service atau lighting-as-a-service, di mana perusahaan tetap menjadi pemilik produk dan bertanggung jawab untuk pemeliharaan dan daur ulang pada akhir masa pakai. Hal ini menciptakan insentif ekonomi yang kuat bagi produsen untuk membuat produk yang tahan lama.
Secara keseluruhan, Ekonomi Circular adalah perubahan paradigma dari model ambil-buat-buang yang linier. Di sektor teknologi, ini menuntut inovasi dalam daur ulang, logistik terbalik, dan desain material. Mengelola E-Waste dan menerapkan prinsip-prinsip Circular Economy adalah tantangan keberlanjutan terbesar bagi industri digital.

